Jumat, 28 Januari 2011

ETIKA dan BUDAYA MASYARAKAT DESA

  A. MASYARAKAT DESA DALAM TINJAUAN SOSIAL BUDAYA

Pengertian desa menurut kamus Poerwadarminta (1976) adalah:
“sekelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan, kampung (di luar kota); dusun;… 2 dusun atau udik (dalam arti daerah pedalaman sebagai lawan dari kota);….”. Desa menurut kamus tersebut terutama dalam arti fisik. Lain lagi dengan istilah desa dalam rembug desa, yang berarti fisik, masyarakat dan pemerintahannya. Istilah lain yang memiliki pengertian hampir sama adalah village. Menurut The Random House Dictionary (1968), village adalah:

“a small community or group of house in a rural area usually smaller than a town and sometimes incorporated as a municipality”
Definisi tersebut mengandung makna bahwa yang dimaksud dengan masyarakat kecil adalah masyarakat di daerah masyarakat pedesaan. Masyarakat kecil disebut juga rural community yang diartikan sebagai masyarakat yang anggota-anggotanya hidup bersama di suatu lokalitas tertentu, yang seorang merasa dirinya bagian dari kelompok, kehidupan mereka meliputi urusan-urusan yang merupakan tanggungjawab bersama dan masing-masing merasa terikat pada norma-norma tertentu yang mereka taati bersama.

KARAKTERISTIK UMUM MASYARAKAT DESA


Masyarakat desa selalu memiliki ciri-ciri atau dalam hidup bermasyarakat, yang biasanya tampak dalam perilaku keseharian mereka. Pada situasi dan kondisi tertentu, sebagian karakteristik dapat digeneralisasikan pada kehidupan masyarakat desa di Jawa. Namun demikian, dengan adanya perubahan sosial religius dan perkembangan era informasi dan teknologi, terkadang sebagian karakteristik tersebut sudah “tidak berlaku”. Berikut ini disampaikan sejumlah karakteristik masyarakat desa, yang terkait dengan etika dan budaya mereka, yang bersifat umum yang selama ini masih sering ditemui. Setidaknya, ini menjadi salah satu wacana bagi kita yang akan bersama-sama hidup di lingkungan pedesaan.

    1. Sederhana
Sebagian besar masyarakat desa hidup dalam kesederhanaan. Kesederhanaan ini terjadi karena dua hal :

  1. Secara ekonomi memang tidak mampu
  2. Secara budaya memang tidak senang menyombongkan diri.

    2. Mudah curiga


Secara umum, masyarakat desa akan menaruh curiga pada :

  1. Hal-hal baru di luar dirinya yang belum dipahaminya
  2. Seseorang/sekelompok yang bagi komunitas mereka dianggap “asing
  3. Menjunjung tinggi “unggah-ungguh”

Sebagai “orang Timur”, orang desa sangat menjunjung tinggi kesopanan atau “unggah-ungguh” apabila :


  1. Bertemu dengan tetangga
  2. Berhadapan dengan pejabat
  3. Berhadapan dengan orang yang lebih tua/dituakan
  4. Berhadapan dengan orang yang lebih mampu secara ekonomi
  5. Berhadapan dengan orang yang tinggi tingkat pendidikannya


     3. Guyub, kekeluargaan


Sudah menjadi karakteristik khas bagi masyarakat desa bahwa suasana kekeluargaan dan persaudaraan telah “mendarah-daging” dalam hati sanubari mereka.

     4. Lugas


“Berbicara apa adanya”, itulah ciri khas lain yang dimiliki masyarakat desa. Mereka tidak peduli apakah ucapannya menyakitkan atau tidak bagi orang lain karena memang mereka tidak berencana untuk menyakiti orang lain. Kejujuran, itulah yang mereka miliki.

    5. Tertutup dalam hal keuangan


Biasanya masyarakat desa akan menutup diri manakala ada orang yang bertanya tentang sisi kemampuan ekonomi keluarga. Apalagi jika orang tersebut belum begitu dikenalnya. Katakanlah, mahasiswa yang sedang melakukan tugas penelitian survei pasti akan sulit mendapatkan informasi tentang jumlah pendapatan dan pengeluaran mereka.

    6. Perasaan “minder” terhadap orang kota


Satu fenomena yang ditampakkan oleh masayarakat desa, baik secara langsung ataupun tidak langsung ketika bertemu/bergaul dengan orang kota adalah perasaan mindernya yang cukup besar. Biasanya mereka cenderung untuk diam/tidak banyak omong.

   7. Menghargai (“ngajeni”) orang lain


Masyarakat desa benar-benar memperhitungkan kebaikan orang lain yang pernah diterimanya sebagai “patokan” untuk membalas budi sebesar-besarnya. Balas budi ini tidak selalu dalam wujud material tetapi juga dalam bentuk penghargaan sosial atau dalam bahasa Jawa biasa disebut dengan “ngajeni”.

    8. Jika diberi janji, akan selalu diingat


Bagi masyarakat desa, janji yang pernah diucapkan seseorang/komunitas tertentu akan sangat diingat oleh mereka terlebih berkaitan dengan kebutuhan mereka. Hal ini didasari oleh pengalaman/trauma yang selama ini sering mereka alami, khususnya terhadap janji-janji terkait dengan program pembangunan di daerahnya.
Sebaliknya bila janji itu tidak ditepati, bagi mereka akan menjadi “luka dalam” yang begitu membekas di hati dan sulit menghapuskannya. Contoh kecil: mahasiswa menjanjikan pertemuan di Balai Desa jam 19.00. Dengan tepat waktu, mereka telah standby namun mahasiswa baru datang jam 20.00. Mereka akan sangat kecewa dan selalu mengingat pengalaman itu.

    9. Suka gotong-royong


Salah satu ciri khas masyarakat desa yang dimiliki dihampir seluruh kawasan Indonesia adalah gotong-royong atau kalau dalam masyarakat Jawa lebih dikenal dengan istilah “sambatan”. Uniknya, tanpa harus dimintai pertolongan, serta merta mereka akan “nyengkuyung” atau bahu-membahu meringankan beban tetangganya yang sedang punya “gawe” atau hajatan. Mereka tidak memperhitungkan kerugian materiil yang dikeluarkan untuk membantu orang lain. Prinsip mereka: “rugi sathak, bathi sanak”. Yang kurang lebih artinya: lebih baik kehilangan materi tetapi mendapat keuntungan bertambah saudara.

   10. Demokratis


Sejalan dengan adanya perubahan struktur organisasi di desa, pengambilan keputusan terhadap suatu kegiatan pembangunan selalu dilakukan melalui mekanisme musyawarah untuk mufakat. Dalam hal ini peran BPD (Badan Perwakilan Desa) sangat penting dalam mengakomodasi pendapat/input dari warga.

   11. Religius


Masyarakat pedesaan dikenal sangat religius. Artinya, dalam keseharian mereka taat menjalankan ibadah agamanya. Secara kolektif, mereka juga mengaktualisasi diri ke dalam kegiatan budaya yang bernuansa keagamaan. Misalnya: tahlilan, rajaban, Jumat Kliwonan, dll.
Catatan: 11 karakteristik tersebut, pada saat ini tidak bisa digeneralisasikan bagi seluruh warga masyarakat desa. Ini disebabkan oleh adanya perubahan sosial religius yang begitu besar pengaruhnya dalam tata pranata kehidupan masyarakat pedesaan. Dampak yang terjadi meliputi aspek agama, ekonomi, sosial politik, budaya dan pertahanan keamanan. (ingat: kasus kerusuhan yang terjadi di beberapa pedesaan di pulau Jawa)



        CARA MENYIKAPI atau BERADAPTASI


1. Bersikap “andhap asor”

Sebagai “komunitas tamu” yang berasal dari luar komunitas masyarakat desa seyogyanya kita mengambil posisi yang “merendah” atau minimal “seimbang” sekalipun secara materi dan intelektualitas lebih tinggi mereka.

2. Bersahabat


Sifat arogan harus dikikis habis, diganti dengan perilaku yang bersahabat dan “sumedulur” (bersaudara). Sebagai tamu sudah semestinya tidak bersikap arogan dan menunjukkan sifat dan perilaku kekotaan.

3. Menghargai


Sebagai reaksi atas sikap kekeluargaan dari masyarakat desa, sepantasnya kita juga menghargai mereka. Sikap menghargai ini dapat diberikan dalam hal :

  1. Memahami pola pikir mereka yang berbeda kontra dengan pola pikir kita
  2. Menerima pemberian sesuatu sebagai bentuk “tresno” (kasih sayang) mereka kepada kita.
  3. Memahami pola hidup mereka yang jauh berbeda dengan pola hidup kita
  4. Sopan santun

Dalam rangka mengikuti adat/istiadat/kebiasaan yang berlaku di desa maka sudah selayaknya kita menyesuaikan diri, diantaranya :

• Dalam hal berpakaian, sebaiknya tidak mengenakan pakaian “ala kota”.
• Dalam gaya hidup, sebaiknya tidak menunjukkan sikap yang menurut mereka “pamer materi”. Misalnya: ber-handphone ria ditengah-tengah mereka, ber-walkman ria sambil berbicara dengan mereka.
• Dalam hal berbicara, sebaiknya tidak menggunakan kata-kata/kalimat yang hanya bisa dipahami oleh kalangan mahasiswa. Misalnya: bahasa Inggris/bahasa “ngilmiah”.

5. Terbuka


Sebagai reaksi positif atas keterbukaan yang ditunjukkan oleh masyarakat desa maka seyogyanya kita juga menunjukkan sikap terbuka kepada mereka, misalnya :

• Jika tuan rumah sudah berbicara apa adanya tentang menu makanan sehari-hari maka jika kita memang kurang suka sebaiknya “ngomong”. Contoh: Si A tidak suka makan mie. Sebaiknya ngomong ke tuan rumah daripada nggerundhel.
• Jika keluar dari rumah pondokan sebaiknya menjelaskan secara terbuka: mau kemana, dengan siapa dan kapan pulang. Hal ini penting, karena biasanya mahasiswa sudah dianggap sebagai anak sendiri.

6. Membantu tanpa pamrih


Mengacu pada karakteristik gotong-royong yang dimiliki masyrakat desa, maka sudah semestinya kita menyesuaikan dan mengikuti kebiasaan itu. Bekerja dan membantu masyarakat desa tanpa pamrih. Dengan senang hati mengikuti setiap acara tradisional (misal: kenduri) yang diadakan di desa. Sekalipun tetap memperhitungkan waktu kerja program COP.

7. Tepat waktu


Demi menjaga kepercayaan masyarakat desa, sebaiknya perlu diperhatikan ketepatan waktu dalam setiap acara peretemuan yang melibatkan orang banyak. Hal ini sangat penting agar masyarakat desa juga menaruh kepercayaan kepada kita sehingga sosialisasi program dan keterlanjutan pelaksanaannya dapat terjaga.

8. Silahturahmi


Sebagai “tamu asing” sudah menjadi kebiasaan yang lumrah jika kita harus melakukan silaturahmi (= memperkenalkan diri) kepada warga masyarakat desa agar didalam melakukan sosialisasi dan pelaksanaan program tidak mengalami hambatan hanya dikarenakan belum kenal. Silaturahmi ini dapat dilakukan secara formal maupun informal. Misal:
• Ketika melakukan sosialisasi ketemu warga desa, sebaiknya langsung memperkenalkan diri (informal)
• Perkenalan diri secara formal di Balai Desa (formal)

9. “Srawung”


Selama menjalankan program COP sebaiknya kita tetap menjaga hubungan baik dengan masyarakat desa sehari-hari. Jangan sekali-kali kita mengucilkan diri dan seolah membentuk kelompok “eksklusif orang kota”.

10. Gotong-royong


Partisipatif, ini kata kuncinya ! Dalam menjalankan program kerja jangan sampai meninggalkan prinsip dasar, yaitu PARTISIPASI MASYARAKAT. Pada dasarnya program dapat berjalan karena ada partisipasi, baik dari seluruh anggota kelompok maupun masyarakat setempat. Memunculkan minat berpartisipasi tidaklah mudah, karena itu dibutuhkan komitmen yang tinggi yang diawali dari diri sendiri.

11. Demokratis


Mencermati iklim demokrasi yang juga sudah merambah di desa, hendaknya kita bersedia mengikuti proses yang berlangsung. Karena itu, dalam merencanakan dan melaksanakan program kita harus melibatkan BPD (Badan Perwakilan Desa). Ini juga berarti kita menghargai proses demokrasi dalam sebuah “lembaga” yang namanya desa.

12. Religius


Menyikapi kenyataan ini, secara psikologis kita tidak perlu khawatir atau bahkan takut karena justru akan menyulitkan kita untuk bersosialisasi. Sikap menghargai, itulah yang mesti kita kembangkan ! Kita mesti tahu diri disaat masyarakat desa sedang menjalankan ibadah agamanya. Karena itu dalam menyusun suatu kegiatan, pertimbangan faktor “lima waktu” sangat penting untuk diperhatikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar