a. Pemilihan dan Penyiapan Tanaman Induk Sumber Eksplan
Tujuan utama dari propagasi secara in-vitro tahap ini adalah pembuatan kultur dari eksplan yang bebas mikroorganisme serta inisiasi pertumbuhan baru (Wetherell, 1976). Ditambahkan pula menurut Yusnita, 2004, bahwa pada tahap ini mengusahakan kultur yang aseptik atau aksenik. Aseptik berarti bebas dari mikroorganisme, sedangkan aksenik berarti bebas dari mikroorganisme yang tidak diinginkan. Dalam tahap ini juga diharapkan bahwa eksplan yang dikulturkan akan menginisiasi pertumbuhan baru, sehingga akan memungkinkan dilakukannya pemilihan bagian tanaman yang tumbuhnya paling kuat,untuk perbanyakan (multiplikasi) pada kultur tahap selanjutnya (Wetherell, 1976).
Untuk mendapakan kultur yang bebas dari kontaminasi, eksplan harus disterilisasi. Sterilisasi merupakan upaya untuk menghilangkan kontaminan mikroorganisme yang menempel di permukaan eksplan. beberapa bahan kimia yang dapat digunakan untuk mensterilkan permukaan eksplan adalah NaOCl, CaOCl2, etanol, dan HgCl2.
Kesesuaian bagian tanaman untuk dijadikan eksplan, dipengaruhi oleh banyak faktor. Tanaman yang memiliki hubungan kekerabatan dekat pun, belum tentu menunjukkan rspon in-vitro yang sama (Wetherell, 1976). Penggunaan eksplan yan tepat merupakan hal penting yang juga harus diperhatikan pada tahap ini. Umur fisiologis dan ontogenetik tanaman induk, serta ukuran eksplan bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan, merupakan faktor penting dalam tahap ini. Bagi kebanyakan tanaman, eksplan yang sering digunakan adalah tunas pucuk (tunas apikal) atau mata tunas lateral pada potongan batang berbuku. Namun belakangan ini, eksplan potongan daun yang dulunya hanya digunakan untuk tanaman-tanaman herba, seperti violces, begonia, petunia dan tomat, ternyata dapat digunakan juga untuk tanaman-tanaman berkayu seperti Ficus lyrata, Annona squamosa, dan melinjo. Eksplan yang dapat digunakan untuk memperbanyak tanaman Anthurium sendiri diantaranya adalah tunas pucuk, daun, tangkai daun muda, tangkai bunga, spate, spandik, biji, ruas batang dan anther.
Umur fisiologis dan umur ontogenetik jaringan tanaman yang dijadikan eksplan juga berpengaruh terhadap potensi morfogenetiknya. Umumnya, eksplan yang berasal dari tanaman juvenile mempunyai daya regenerasi tinggi untuk membentuk tunas lebih cepat dibandingakan dengan eksplan yang berasal dari tanaman yang sudah dewasa.
Masalah yang sering dihadapi pada kultur tahap ini adalah terjadinya pencokelatan atau penghitaman bagian eksplan (browning). Hal ini disebabkan oleh senyawa fenol yang timbul akibat stress mekanik yang timbul akibat pelukaan pada waktu proses isolasi eksplan dari tanaman induk. Senyawa fenol tersebut bersifat toksik, menghambat pertumbuhan atau bahkan dapat mematikan jaringan eksplan.
c. Multiplikasi atau Perbanyakan Propagul
READ MORE - Tahapan-tahapan Kultur Jaringan
Sebelum melakukan kultur jaringan untuk suatu tanaman, kegiatan yang pertama harus dilakukan adalah memilih bahan induk yang akan diperbanyak. Tanaman tersebut harus jelas jenis, spesies, dan varietasnya serta harus sehat dan bebas dari hama dan penyakit. Tanaman indukan sumber eksplan tersebut harus dikondisikan dan dipersiapkan secara khusus di rumah kaca atau greenhouse agar eksplan yang akan dikulturkan sehat dan dapat tumbuh baik serta bebas dari sumber kontaminan pada waktu dikulturkan secara in-vitro.
Lingkungan tanaman induk yang lebih higienis dan bersih dapat meningkatkan kualitas eksplan. Pemeliharaan rutin yang harus dilakukan meliputi: pemangkasan, pemupukan, dan penyemprotan dengan pestisida (fungisida, bakterisida, dan insektisida), sehingga tunas baru yang tumbuh menjadi lebih sehat dan dan bersih dari kontaminan. Selain itu pengubahan status fisiologi tanaman induk sumber eksplan kadang-kadang perlu dilakukan seperti memanipulasi parameter cahaya, suhu, dan zat pengatur tumbuh. Manipulasi tersebut bisa dilakukan dengan mengondisikan tanaman induk dengan fotoperiodisitas dan temperatur tertentu untuk mengatasi dormansi serta penambahan ZPT seperti sitokinin untuk merangsang tumbuhnya mata tunas baru dan untuk meningkatkan reaktivitas eksplan pada tahap inisiasi kultur (Yusnita, 2003).
b. Inisiasi Kultur
Lingkungan tanaman induk yang lebih higienis dan bersih dapat meningkatkan kualitas eksplan. Pemeliharaan rutin yang harus dilakukan meliputi: pemangkasan, pemupukan, dan penyemprotan dengan pestisida (fungisida, bakterisida, dan insektisida), sehingga tunas baru yang tumbuh menjadi lebih sehat dan dan bersih dari kontaminan. Selain itu pengubahan status fisiologi tanaman induk sumber eksplan kadang-kadang perlu dilakukan seperti memanipulasi parameter cahaya, suhu, dan zat pengatur tumbuh. Manipulasi tersebut bisa dilakukan dengan mengondisikan tanaman induk dengan fotoperiodisitas dan temperatur tertentu untuk mengatasi dormansi serta penambahan ZPT seperti sitokinin untuk merangsang tumbuhnya mata tunas baru dan untuk meningkatkan reaktivitas eksplan pada tahap inisiasi kultur (Yusnita, 2003).
b. Inisiasi Kultur
Tujuan utama dari propagasi secara in-vitro tahap ini adalah pembuatan kultur dari eksplan yang bebas mikroorganisme serta inisiasi pertumbuhan baru (Wetherell, 1976). Ditambahkan pula menurut Yusnita, 2004, bahwa pada tahap ini mengusahakan kultur yang aseptik atau aksenik. Aseptik berarti bebas dari mikroorganisme, sedangkan aksenik berarti bebas dari mikroorganisme yang tidak diinginkan. Dalam tahap ini juga diharapkan bahwa eksplan yang dikulturkan akan menginisiasi pertumbuhan baru, sehingga akan memungkinkan dilakukannya pemilihan bagian tanaman yang tumbuhnya paling kuat,untuk perbanyakan (multiplikasi) pada kultur tahap selanjutnya (Wetherell, 1976).
Untuk mendapakan kultur yang bebas dari kontaminasi, eksplan harus disterilisasi. Sterilisasi merupakan upaya untuk menghilangkan kontaminan mikroorganisme yang menempel di permukaan eksplan. beberapa bahan kimia yang dapat digunakan untuk mensterilkan permukaan eksplan adalah NaOCl, CaOCl2, etanol, dan HgCl2.
Kesesuaian bagian tanaman untuk dijadikan eksplan, dipengaruhi oleh banyak faktor. Tanaman yang memiliki hubungan kekerabatan dekat pun, belum tentu menunjukkan rspon in-vitro yang sama (Wetherell, 1976). Penggunaan eksplan yan tepat merupakan hal penting yang juga harus diperhatikan pada tahap ini. Umur fisiologis dan ontogenetik tanaman induk, serta ukuran eksplan bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan, merupakan faktor penting dalam tahap ini. Bagi kebanyakan tanaman, eksplan yang sering digunakan adalah tunas pucuk (tunas apikal) atau mata tunas lateral pada potongan batang berbuku. Namun belakangan ini, eksplan potongan daun yang dulunya hanya digunakan untuk tanaman-tanaman herba, seperti violces, begonia, petunia dan tomat, ternyata dapat digunakan juga untuk tanaman-tanaman berkayu seperti Ficus lyrata, Annona squamosa, dan melinjo. Eksplan yang dapat digunakan untuk memperbanyak tanaman Anthurium sendiri diantaranya adalah tunas pucuk, daun, tangkai daun muda, tangkai bunga, spate, spandik, biji, ruas batang dan anther.
Umur fisiologis dan umur ontogenetik jaringan tanaman yang dijadikan eksplan juga berpengaruh terhadap potensi morfogenetiknya. Umumnya, eksplan yang berasal dari tanaman juvenile mempunyai daya regenerasi tinggi untuk membentuk tunas lebih cepat dibandingakan dengan eksplan yang berasal dari tanaman yang sudah dewasa.
Masalah yang sering dihadapi pada kultur tahap ini adalah terjadinya pencokelatan atau penghitaman bagian eksplan (browning). Hal ini disebabkan oleh senyawa fenol yang timbul akibat stress mekanik yang timbul akibat pelukaan pada waktu proses isolasi eksplan dari tanaman induk. Senyawa fenol tersebut bersifat toksik, menghambat pertumbuhan atau bahkan dapat mematikan jaringan eksplan.
c. Multiplikasi atau Perbanyakan Propagul
Tahap ini bertujuan untuk menggandakan propagul atau bahan tanaman yang diperbanyak seperti tunas atau embrio, serta memeliharanya dalam keadaan tertentu sehingga sewaktu-waktu bisa dilanjutkan untuk tahap berikutnya (Yusnita, 2004). Pada tahap ini, perbanyakan dapat dilakukan dengan cara merangsang terjadinya pertumbuhan tunas cabang dan percabangan aksiler atau merangsang terbentuknya tunas pucuk tanaman secara adventif, baik secara langsung maupun melalui induksi kalus terlebih dahulu. Seperti halnya dalam kultur fase inisiasi, di dalam media harus terkandung mineral, gula, vitamin, dan hormon dengan perbandingan yang dibutuhkan secara tepat (Wetherell, 1976). Hormon yang digunakan untuk merangsang pembentukan tunas tersebut berasal dari golongan sitokinin seperti BAP, 2-iP, kinetin, atau thidiadzuron (TDZ).
Kemampuan memperbanyak diri yang sesungguhnya dari suatu perbanyakan secara in-vitro terletak pada mudah tidaknya suatu materi ditanam ulang selama multiplikasi (Wetherell, 1976). Eksplan yang dalam kondisi bagus dan tidak terkontaminasi dari tahap inisiasi kultur dipindahkan atau disubkulturkan ke media yang mengandung sitokinin. Subkultur dapat dilakukan berulang-ulang kali sampai jumlah tunas yang kita harapkan, namun subkultur yang terlalu banyak dapat menurunkan mutu dari tunas yang dihasilkan, seperti terjadinya penyimpangan genetik (aberasi), menimbulkan suatu gejala ketidak normalan (vitrifikasi) dan frekuensi terjadinya tanaman off-type sangat besar.
d. Pemanjangan Tunas, Induksi, dan Perkembangan Akar
Kemampuan memperbanyak diri yang sesungguhnya dari suatu perbanyakan secara in-vitro terletak pada mudah tidaknya suatu materi ditanam ulang selama multiplikasi (Wetherell, 1976). Eksplan yang dalam kondisi bagus dan tidak terkontaminasi dari tahap inisiasi kultur dipindahkan atau disubkulturkan ke media yang mengandung sitokinin. Subkultur dapat dilakukan berulang-ulang kali sampai jumlah tunas yang kita harapkan, namun subkultur yang terlalu banyak dapat menurunkan mutu dari tunas yang dihasilkan, seperti terjadinya penyimpangan genetik (aberasi), menimbulkan suatu gejala ketidak normalan (vitrifikasi) dan frekuensi terjadinya tanaman off-type sangat besar.
d. Pemanjangan Tunas, Induksi, dan Perkembangan Akar
Tujuan dari tahap ini adalah untuk membentuk akar dan pucuk tanaman yang cukup kuat untuk dapat bertahan hidup sampai saat dipindahkan dari lingkungan in-vitro ke lingkungan luar. Dalam tahap ini, kultur tanaman akan memperoleh ketahanannya terhadap pengaruh lingkungan, sehingga siap untuk diaklimatisasikan (Wetherell, 1976). Tunas-tunas yang dihasilkan pada tahap multiplikasi di pindahkan ke media lain untuk pemanjangan tunas. Media untuk pemanjangan tunas mengandung sitokinin sangat rendah atau tanpa sitokinin. Tunas tersebut dapat dipindahkan secara individu atau berkelompok. Pemanjangan tunas secara berkelompok lebih ekonomis daripada secara individu. Setelah tumbuh cukup panjang, tunas tersebut dapat diakarkan. Pemanjangan tunas dan pengakarannya dapat dilakukan sekaligus atau secara bertahap, yaitu setelah dipanjangkan baru diakarkan. Pengakaran tunas in-vitro dapat dilakukan dengan memindahkan tunas ke media pengakaran yang umumnya memerlukan auksin seperti NAA atau IBA. Keberhasilan tahap ini tergantung pada tingginya mutu tunas yang dihasilkan pada tahap sebelumnya. Disamping itu, beberapa perlakuan yang disebut hardening in vitro telah dilaporkan dapat meningkatkan mutu tunas sehingga planlet atau tunas mikro tersebut dapat diaklimatisasikan dengan persentase yang lebih tinggi. Beberapa perlakuan yang bisa dilakukan sebagai berikut:
- Mengondiskan kultur di tempat yang pencahaannya berintensitas lebih tinggi (contohnya 10000 lux) dan suhunya lebih tinggi.
- Pemanjangan dan pemanjangan tnas mikro dilakukan dalam media kultur dengan hara mineral dan sukrosa lebih rendah dan konsentrasi agar-agar lebih tinggi (Yusnita, 2004).
Dalam proses perbanyakan tanaman secara kultur jaringan, tahap aklimatisasi planlet merupakan salah satu tahap kritis yang sering menjadi kendala dalam produksi bibit secara masal. Pada tahap ini, planlet atau tunas mikro dipindahkan ke lingkungan di luar botol seperti rumah kaca , rumah plastik, atau screen house (rumah kaca kedap serangga). Proses ini disebut aklimatisasi. Aklimatisasi adalah proses pengkondisian planlet atau tunas mikro (jika pengakaran dilakukan secara ex-vitro) di lingkungan baru yang aseptik di luar botol, dengan media tanah, atau pakis sehingga planlet dapat bertahan dan terus menjadi bibit yang siap ditanam di lapangan. Prosedur pembiakan dengan kultur jaringan baru bisa dikatakan berhasil jika planlet dapat diaklimatisasi ke kondisi eksternal dengan keberhasilan yang tinggi.
Tahap ini merupakan tahap kritis karena kondisi iklim mikro di rumah kaca, rumah plastik, rumah bibit, dan lapangan sangatlah jauh berbeda dengan kondisi iklim mikro di dalam botol. Kondisi di luar botol bekelembaban nisbi jauh lebih rendah, tidak aseptik, dan tingkat intensitas cahayanya jauh lebih tinggi daripada kondisi dalam botol. Planlet atau tunas mikro lebih bersifat heterotrofik karena sudah terbiasa tumbuh dalam kondisi berkelembaban sangat tinggi, aseptik, serta suplai hara mineral dan sumber energi berkecukupan.
Tahap ini merupakan tahap kritis karena kondisi iklim mikro di rumah kaca, rumah plastik, rumah bibit, dan lapangan sangatlah jauh berbeda dengan kondisi iklim mikro di dalam botol. Kondisi di luar botol bekelembaban nisbi jauh lebih rendah, tidak aseptik, dan tingkat intensitas cahayanya jauh lebih tinggi daripada kondisi dalam botol. Planlet atau tunas mikro lebih bersifat heterotrofik karena sudah terbiasa tumbuh dalam kondisi berkelembaban sangat tinggi, aseptik, serta suplai hara mineral dan sumber energi berkecukupan.
Disamping itu tanaman tersebut memperlihatkan beberapa gejala ketidak normalan, seperti bersifat sukulen, lapisan kutikula tipis, dan jaringan vaskulernya tidak berkembang sempurna, morfologi daun abnormal dengan tidak berfungsinya stomata sebagai mana mestinya. Strutur mesofil berubah, dan aktifitas fotosintesis sangat rendah. Dengan karakteristik seperti itu, palanlet atau tunas mikro mudah menjadi layu atau kering jika dipindahkan ke kondisi eksternl secara tiba-tiba. Karena itu, planlet atau tunas mikro tersebut diadaptasikan ke kondisi lngkungan yang baru yang lebih keras. Dengan kata lain planlet atau tunas mikro perlu diaklimatisasikan ( Yusnita, 2004).